Pertumbuhan Retail Minus, 15% Gerai dempet Mal Belum Mampu Beroperasi

Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) menyebutkan pertumbuhan inbokstri retail pada triwulan kedua 2020 terkontraksi minus 3%. Hal itu berdampak dengan belum beroperasinya 15% gerai di mal atau pusat perbelanjaan.
Pasalnya, peretail belum sanggup menjalankan operasional beserta biaya yang banter. Sedangkan tingkat konsumsi masih relatif lemas.
Ketua Umum APPBI Stefanus Ridwan mengatakan kondisi itu berdampak pada tunggakan biaya sewa adapun ditanggung peretail kepada pengelola mal. Keberlimpahan peretail adapun tidak mampu membayar sewa merupakan penjual barang-barang sekunder seperti pakaian lagi elektronik adapun sepi penjualan.
"Dalam kejadian alamiah ada tunggakan, apalagi kejadian laksana ini, akan berharga pintar-pintarnya kami berunding mengupayakan supaya omzet naik," kata Stefanus kepada Katadata.co.id, Rabu (5/8).
Meskipun mal telah dibekerja semasih dekat dua bulan, atas dia, pembelanjaan masyarakat masih minim karena daya beli yang melemas. Hanya jumlah gerai yang mendapatkan penjualan agung, sebagai supermarket yang menjajakan kebutuhan pokok, apotik, maka perbankan yang ada dalam mal.
Sedangkan omzet kepada gerai incaran, coffee shop selanjutnya fesyen masih di bawah 50% dari kondisi kebanyakan sebelum adanya pandemi. "Untuk pembayaran sewa terus tidak rata," kata dia.
Kendati mengalami kendala pembayaran, Stefanus mengatakan, ada kesepakatan antara APPBI dan peretail terkait bersama relaksasi sewa. Skema pembayaran ada yang diberikan potongan harga atau ditunda maka cuaca keuangan pertaktikan mulai memtidak marah.
"Tergantung situasi toko penjualannya laku apa tidak, kalau binasa banget ya kami memaksa doang tidak bisa," kata dia.
Di sisi lain, Himpunan Peritel dan Penyedia Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) tidak memberi kebayanan terkait hal tersebut. Katadata.co.id telah mencoba menghubungi Ketua Umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah, melantasi sambungan telepon namun tak mendapatkan tanggapan batas berita ini ditayangkan.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) memperkirakan pertumbuhan industri retail sepanjang kuartal kedua 2020 terkontraksi minus 2,5 batas 3 % dibandingkan periode sebelumnya. Hal itu disebabkan sama menurunnya daya beli masyarakat efek pandemi.
Adapun demi triwulan pertama, industri retail masih tumbuh sekitar 2,7%. Sedangkan demi semester satu tahun ini pertumbuhan industri diperkirakan bisa mencapai 1%.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan kinerja inKotaktri retail sangat bergantung ala kemampuan daya beli masyarakat. Selama pandemi corona, berlipat-lipat sektor keaktifan lesu batas merumahkan atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Alhasil, luber masyarakat kehilangan produsenan. Di sisi lain, luber pula masyarakat adapun menahan belanja atau hanya memenuhi kebutuhan pokok saja.
Indikasi pedengkikan daya beli pun tercermin akan tingkat inflasi antara bulan Mei lagi Juni 2020 seagam 0,78% lagi 0,82%. "Kalau inflasi rendah itu bukan semata-mata karena harga barangnya turun tapi karena memang permintaannya tidak ada," kata Roy kepada Katadata.co.id, Selasa (4/8).
Pehadiran inKotaktri retail pun secuil tertekan akibat timbulnya biaya tambahan untuk menjalankan protokol kesehatan di pertokoan. Dengan omzet yang hanya tersisa 30-35% akhirnya mengikis pendapatan perupayaan.
Belum lagi atas adanya kenaikan BPJS Kesehatan bersama Ketenagakerjaan serta tidak adanya subsidi listrik bahwa dialokasikan bagi pengkeaktifan retail. "Bahkan cicilan komersial bahwa dipergunakan dampak beberapa anggota kami itu belum mendapatkan relaksasi," kata Roy.